LGBT sebagai akronim dari “Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender”
yang sering digunakan untuk mewakili kalangan minoritas dalam hal seksualitas.
Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa “komunitas
gay”. Penggunaan istilah ini tidak hanya mewakili individu yang tidak
heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, atau transgender melainkan
juga bagi individu – individu yang masih mempertanyakan identitas seksual
mereka, sehingga seringkali huruf Q (queer)
ditambahkan menjadi LGBTQ (Munadi, 2017)
Banyak pihak menganggap golongan atau kaum minoritas
LGBT merupakan golongan yang mengalami masalah mental dan seksual, dan
memperlakukan mereka secara diskriminatif, namun tidak sedikit pula golongan
yang dengan terbuka lebar menerima mereka dan mendukung dan menjaga hak – hak
mereka sebagai manusia untuk bias mengekspresikan diri mereka sendiri.
Mengenal LGBT, berarti kita harus mengenal setiap
komponen kaum minoritas yang ada di dalamnya. Lesbian, berasal dari seorang
penduduk Pulau Lesbos di Yunani, yaitu Sappho. Sappho adalah seorang penyair
yang menghasilkan puisi liris, yaitu puisi yang telah berkembang dari abad VI
SM yang sebagian di antaranya masih ada sampai sekarang. Puisi Sappho berisikan
tentang cinta lesbian. Pada masa itu, percintaan homoseksual dipahami sebagai
hal yang lebih tinggi dibandingkan percintaan heteroseksual. Istilah lesbian
digunakan bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama
perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara
fisik, seksual, emosional atau secara spiritual (Munadi, 2017). Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, lesbian adalah wanita yang mencintai atau merasakan
rangsangan seksual sesama jenisnya atau disebut juga wanita homoseks (kbbi.web.id/lesbian). Munadi, 2017 mengartikan lesbian sebagai perempuan
yang secara psikologis, emosi dan seksual tertarik kepada perempuan lain.
Golongan lesbian Mereka tidak memiliki hasrat untuk
menjadi anggota gender yang berlawanan atau merasa jijik pada alat genital
mereka, seperti yang dapat kita temukan pada orang-orang dengan gangguan identitas
gender (Munadi, 2017). Jadi, lesbian itu bukan merupakan gangguan identitas
gender, akan tetapi orientasi seksual mereka yang menyimpang.
Lesbian, kelainan seksual ini telah melanda lapisan
masyarakat dan bahkan terorganisir dengan sangat kuat dan rapi. Jutaan
masyarakat di Amerika, Eropa sampai masyarakat miskin di berbagai kawasan kumuh
pun terkena kelainan seksual ini. Termasuk Indonesaia yang saat ini kelainan
seksual lesbian telah berkembang di mana-mana, salah satunya Kota Bandung yang
diduga sebagai kota dengan komunitas lesbian terbesar dengan mulai
diperlihatkannya keberadaan mereka di muka umum sehingga orang-orang pun sudah
sedikit banyak menyadari keberadaan komunitas ini. Kelainan seksual ini
bercirikan masing-masing jenis, yaitu perempuan senang mengadakan hubungan
dengan perempuan lain.
Adapun gejala atau ciri-ciri dari individu yang
tergolong lesbian (Munadi, 2017), yaitu:
a. Seseorang
lebih senang bergaul dengan individu berjenis kelamin yang sama dan berusia
relatif lebih muda darinya.
b. Seseorang
biasanya enggan berbicara dengan lawan jenis.
c. Berpakaian
seperti atau menyenangi kegiatan yang biasa dikerjakan laki-laki.
d. Banyak
juga dijumpai lesbian yang gayanya seperti perempuan normal, cenderung feminim,
bahkan lebih feminim dari perempuan yang normal.
e. Tingkah
lakunya terkadang lebih halus dari perempuan normal pada umumnya.
f. Biasanya penampilan
feminim terkesan dingin. Selalu tergantung kepada pasangan, tidak mandiri,
sering cemas, menjaga jarak dengan wanita lain yang bukan pasangannya.
g. Cenderung
sensitif dan dingin kepada laki-laki. Tapi ini bukan ciri yang akurat, hanya
ciri inilah yang kebanyakan muncul.
Gay adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk
merujuk individu homoseksual atau sifat-sifat homoseksual. Istilah ini awalnya
digunakan untuk mengungkapkan perasaan bebas, tidak terikat, bahagia, cerah dan
menyolok. Kata ini mulai digunakan untuk menyebut homoseksual diperkirakan
semenjak akhir abad ke-19 M, tetapi menjadi lebih umum digunakan pada abad
ke-20 (Douglas dalam Munadi, 2017). Pada akhir abad ke-20, istilah gay telah
direkomendasikan oleh kelompok-kelompok besar LGBT dan paduan gaya penulisan
untuk menggambarkan orang-orang yang tertarik dengan orang lain yang berjenis
kelamin sama dengannya (GLAAD Media Reference Guide-Offensive Terms To Avoid
dalam Munadi, 2017). Pada waktu yang hampir bersamaan, penggunaan menurut
istilah barunya dan penggunaannya secara peyoratif (merendahkan) menjadi umum
pada beberapa wilayah (bagian) dunia. Untuk mengidentifikasikan bahwa seseorang
itu gay dapat dilakukan dengan tiga cara (Kelly Brook dalam Munadi, 2017),
yaitu:
a. Adanya
ketertarikan terhadap orang lain yang mempunyai kesamaan gender dengan dirinya.
b. Keterlibatan
seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki kesamaan gender dengan
dirinya.
c. Ia
mengindetifikasikan dirinya sebagai gay.
Biseksualitas merupakan ketertarikan romantis,
ketertarikan seksual, atau kebiasaan seksual kepada pria maupun wanita. Istilah
ini umumnya digunakan dalam konteks ketertarikan manusia untuk menunjukkan
perasaan romantis atau seksual kepada pria maupun wanita sekaligus. Istilah ini
juga didefinisikan sebagai meliputi ketertarikan romantis atau seksual pada
semua jenis gender atau pada seseorang tanpa mempedulikan jenis kelamin atau
gender biologis orang tersebut, biseksual terkadang disebut juga panseksualitas
(Robin dan Hammer, dalam Munadi, 2017).
Biseksualitas adalah salah satu dari
tiga klasifikasi utama orientasi seksual, bersama dengan heteroseksualitas dan
homoseksualitas, yang masing-masing merupakan bagian dari rangkaian kesatuan
heteroseksual-homoseksual. Suatu identitas biseksual tidak harus memiliki
ketertarikan seksual yang sama besar pada kedua jenis kelamin, biasanya
orang-orang yang memiliki ketertarikan pada kedua jenis kelamin tetapi memiliki
tingkat ketertarikan yang berbeda juga mengidentifikasikan dirinya sebagai biseksual.
Secara umum biseksualitas dikontraskan dengan homoseksualitas,
heteroseksualitas, dan aseksualitas (Munadi, 2017).
Biseksualitas telah teramati
terdapat dalam berbagai golongan masyarakat manusia dan juga pada kelompok
hewan di dalam catatan sejarah. Istilah biseksualitas, sebagaimana
heteroseksualitas dan homoseksualitas, muncul pada abad ke-19 M. Sebagaimana
individu dengan seksualitas LGBT lainnya, biseksual juga seringkali mengalami
diskriminasi. Selain diskriminasi yang berhubungan dengan homofobia, mereka
juga mengalami diskriminasi dari para gay, lesbian, dan straight mengenai kata
biseksual dan identitas biseksual itu sendiri.
Transgender, dalam “Gay and Lesbian
Alliance Against Defamation, GLAAD Media Reference Guide-Transgender glossary
of terms” merupakan ketidaksamaan identitas gender seseorang terhadap jenis
kelamin yang ditunjuk kepada dirinya. Transgender bukan merupakan orientasi
seksual. Seseorang yang transgender dapat mengidentifikasi dirinya sebagai
seorang heteroseksual, homoseksual, biseksual, maupun aseksual. Beberapa orang
menilai penamaan orientasi seksual yang umum tidak cukup atau tidak dapat
diterapkan terhadap kondisi transgender.
1. Ada
dua definisi dari transgender yang dikemukakan ahli, yaitu: Seseorang yang
ditunjuk sebagai seks tertentu, umumnya setelah kelahiran berdasarkan kondisi
kelamin, namun merasa bahwa hal tersebut adalah salah dan tidak mendeskripsikan
diri mereka secara sempurna.
2. Seseorang
yang tidak mengidentifikasi diri mereka atau tidak berpenampilan sebagai seks
serta gender yang diasumsikan yang ditunjukkan saat lahir (USI LGBT Campaign, Transgender Campaign dalam Munadi,
2017).
PERKEMBANGAN LGBT DI INDONESIA
Munadi mengutip Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT, bahwa kaum homoseksual mulai bermunculan di kota-kota
besar pada zaman Hindia Belanda. Di Indonesia terdapat komunitas kecil LGBT
walaupun pada saat zaman Hindia Belanda tersebut belum muncul sebagai
pergerakan sosial. Pada sekitar tahun 1968 istilah wadam (wanita adam)
digunakan sebagai pengganti kata banci atau bencong yang dianggap bercitra
negatif. Sehingga didirikan organisasi wadam yang pertama, dibantu serta
difasilitasi oleh gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Organisasi wadam tersebut
bernama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD).
Pada tahun 1980 karena Adam merupakan nama nabi bagi
umat Islam maka sebagian besar tokoh Islam keberatan mengenai singkatan dari
Wadam sehingga nama Wadam diganti menjadi waria (wanita-pria). Organisasi
terbuka yang menaungi kaum gay pertama berdiri di Indonesia tanggal 1 Maret
1982, sehingga merupakan hari yang bersejarah bagi kaum LGBT Indonesia.
Organisasi tersebut bernama Lambda. Lambda memiliki sekretariat di Solo.
Cabangcabang Lamda kemudian berdiri dikota besar lainnya seperti Yogyakarta,
Surabaya, dan Jakarta. Mereka menerbitkan buletin dengan nama G: Gaya Hidup
Ceria pada tahun 1982-1984.
Menurut survey CIA pada tahun 2015 yang dilansir di
topikmalaysia.com jumlah populasi LGBT di Indonesia adalah ke-5 terbesar di
dunia setelah China, India, Eropa dan Amerika. Selain itu, beberapa lembaga
survey independen dalam maupun luar negeri menyebutkan bahwa Indonesia memiliki
3% penduduk LGBT, ini berarti dari 250 juta penduduk 7,5 jutanya adalah LBGT,
atau lebih sederhananya dari 100 orang yang berkumpul di suatu tempat 3 diantaranya
adalah LGBT (Santoso, 2016)
PANDANGAN AGAMA TERHADAP
LGBT
Dalam Islam, perilaku LGBT selalu
dikaitkan dengan perilaku kaum Nabi Luth di Negeri Sodom yang menyukai sesama
jenis. Dalam Al-Quran hal itu disebutkan dengan “fāḥisyah”, yaitu perbuatan
keji. Allah Swt sangat melarang setiap perilaku LGBT yang dianggap sebagai
perbuatan keji dan melanggar fitrah penciptaan manusia. Allah berfirman:
Artinya : dan (kami juga telah
mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka:
"Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah
dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu
mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada
wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Dan jawaban kaumnya
tidak lain hanya berkata, "Usirlah mereka (Luth dan pengikutnya) dari
negerimu ini, mereka adalah orang yang menganggap dirinya suci.". Kemudian
Kami selamatkan dia dan pengikutnya kecuali istrinya. Dia
(istrinya) termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami hujani
mereka dengan hujan (batu). Maka perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang yang berbuat dosa itu. (QS. Al-‘Araf: 80-84)
Dalam Kitab Bibel juga dijelaskan
tentang riwayat kaum sodom dan gamora. tertulis dalam bab Kejadian 19:4-5:
“Tetapi
sebelum mereka tidur, orang-orang dari kota Soodom itu, dari yang muda sampai
yang tua, bahkan seluruh kota, tidak ada yang terkecuali, dating mengepung
rumah itu. Mereka berseru kepada Lot: Dimanakah orang – orang yang dating
kepadamu mala mini? Bawalah mereka keluar kepada kami, supaya kami pakai
mereka”
Kitab Kejadian 19:24-29:
“Kemudian
TUHAN menurunkan hujan belerangx dan
api atas Sodom dan Gomora, berasal dari TUHAN, dari langit; dan
ditunggangbalikkan-Nyalah kota-kota itu dan Lembah Yordan dan semua
penduduk kota-kota serta tumbuh-tumbuhan di tanah Tetapi isteri Lot, yang
berjalan mengikutnya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang
garam Ketika Abraham pagi-pagi pergi ke tempat ia berdiri di hadapan
TUHAN itu, dan memandang ke arah Sodom dan Gomora serta ke
seluruh tanah Lembah Yordan, maka dilihatnyalah asap dari bumi membubung ke
atas sebagai asap dari dapur peleburan Demikianlah pada waktu Allah
memusnahkan kota-kota di Lembah Yordan dan menunggangbalikkan
kota-kota kediaman Lot, maka Allah ingat kepada Abraham, lalu
dikeluarkan-Nyalah Lot dari tengah-tengah tempat yang
ditunggangbalikkan itu.
Jelas diriwayatkan bahwa tindakan
sejenis LGBT telah dipandang sebagai tindakan yang tidak disukai oleh agama dan
pelakunya telah mendapat ganjaran atau hukuman dalam kehidupannya. Namun
meskipun larangan tersebut sudah jelas, perkembangan LGBT di dunia dan
Indonesia khusunya masih terus bertahan. Hal tersebut salah satunya dikarenakan
agama bukanlah satu – satunya cara melihat kehidupan di saat sekarang ini.
Banyak ideologi – ideologi yang berkembang dan menaungi keberadaan LGBT.
LGBT DI DEPAN HUKUM
INDONESIA
Hinnga saat ini aturan yang menaungi
secara langsung perkara LGBT masih belum jelas. Hal tersebut sejalan dengan apa
yang disampaikan pakar hokum pidana, Supardji Ahmad yang menyatakan ada
kekosongan hukum di Indonesia ihwal regulasi bagi kaum lesbian, gay, biseksual,
dan transgender atau LGBT. Kekosongan hukum itu mengesankan aktivitas LGBT
bukan perbuatan yang legal. Beliau melanjutkan, contoh kekosongan hukum itu
adalah perdebatan usia dewasa seseorang. Kekosongan hukum itu lantas
menyebabkan dampak atas aktivitas LGBT tak dapat dipidana. Artinya, tidak ada
kriminalitas terhadap aktivitas ataupun pelaku LGBT (Chairunnisa, 2017).
Disamping itu melihat kekosongan
hukum terhadap aktivitas LGBT, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak
permohonan untuk memperluas pasal perzinahan di KUHP. Ada tiga pasal yang
dimohon untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu:
Pasal
284 tentang perzinahan, yang tadinya terbatas dalam kaitan pernikahan
dimohonkan untuk diperluas ke konteks diluar pernikahan,
Pasal
285 tentang perkosaan, yang tadinya terbatas laki-laki terhadap perempuan,
dimintakan untuk diperluas ke laki-laki ke laki-laki ataupun perempuan ke
laki-laki
Dan
pasal 292 tentang pencabulan anak, yang asalnya sesame Janis laki-laki dewasa
terhadap yang belum dewasa dimintakan untuk dihilangkan Batasan umurnya.
Namun, penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap ajuan
tersebut bukan tidak dengan alas an yang relevan. LBH Masyarakat, yang menyebut
bahwa dengan utusan itu MK "menolak menjadi lembaga yang dapat
mengkriminalisasi suatu perbuatan,' dan "menegaskan kewenangannya
sebagai negative legislator dan tidak bisa menjadi positive
legislator sebagaimana dimintakan oleh pemohon." (BBC NEWS Indonesia, 2017).
Terkait dengan penolakan oleh Mahkamah Konstitusi
tersebut, Supardji sebagai salah satu pakar hukum pidana menilai Mahkamah
Konstitusi dapat melakukan perluasan makna terhadap Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) atau undang-undang lain. Jika tidak, justru Mahkamah membiarkan
praktik yang terjadi. Adapun aturan hukum harus memuat nilai-nilai etika dan
moralitas untuk menciptakan keadilan yang memperhatikan keseimbangan para
pihak. Dengan begitu, diharapkan tak ada kesewenang-wenangan dan perlakuan
diskriminatif terhadap pihak tertentu. Pernyataan Suparji ini untuk menanggapi
keputusan hakim Mahkamah yang menolak judicial review atau uji
materi terhadap Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP pada Kamis, 14
Desember 2017. Permohonan uji materi itu diajukan guru besar Institut Pertanian
Bogor, Euis Sunarti, dan sejumlah pihak. Penggugat meminta frasa "belum
dewasa" dihapuskan. Dengan begitu, semua perbuatan seksual sesama jenis
dapat dipidana. Selain itu, homoseksual harus dilarang tanpa membedakan batasan
usia korban, baik yang belum dewasa maupun sudah dewasa (Chairunnisa,
2017).
Dengan masih kosongnya hukum atas tindakan LGBT, tidak
berarti pemerintah lantas diam saja dalam mengontrol perkembangan aktivitas
LGBT. Sudah banyak tindakan yang dilakukan pemerintah yang kaitannya dengan
kelompok ini di dalam tingginya tekanan berbagai pihak dalam penyusunan aturan
terkait LGBT. Salah satu tekanan tersebut datang dari MUI (Majelis Ulama Indonesia),
seperti dilansir CNN Indonesia bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta agar
pemerintah dan DPR tidak mengakomodasi isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender (LGBT) dan zina dalam perundangan. Mnurut Din Syamsuddin, ketua
Dewan Pertimbangan MUI, perilaku LGBT dan zina adalah perbuatan yang menggerus
akhlak dan moral bangsa. Kedua hal itu juga tidak sesuai dengan sila pertama,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa (CNN Indonesia, 2018).
Beberapa tindakan yang akhir-akhir ini dilakukan oleh
pemerintah dalam upaya menekan perilaku LGBT di Indonesia adalah tindakan
KOMINFO yang mulai menganalisa ajelis Ulama Indonesia (MUI) meminta agar
pemerintah dan DPR tidak mengakomodasi isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender (LGBT) dan zina dalam perundangan, seperti dilansir ANTARANEWS.COM.
ajelis Ulama Indonesia (MUI) meminta agar pemerintah dan DPR tidak
mengakomodasi isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) dan zina
dalam perundangan. Tindakan lainnya adalah pembatalan rencana penyelenggaraan
Grand Final Minter dan Miss Gaya Dewata 2018 di Bali. Dilansir di
Republika.co.id, Kepala Bidang Hubungan Masarakat Kepolisian Daerah (Polda)
Bali, Kombes Pol Hengky Widjaja, mengatakan, pihaknya memastikan kontes
kecantikan yang berbau lesbian, gay, biseksual, dan transgender
(LGBT) tersebut tidak akan digelar. Pembatalan acara tersebut dikarenakan
banyaknya penolakan dari masyarakat Bali dan MUI Provinsi Bali menyatakan sikap
penolakan terhadap segala bentuk kegiatan yang mengatasnamakan LGBT di Indonesia
dan Bali khususnya. Ketua Umum MUI Bali, Muhammad Taufik Asadi, mengatakan,
pihaknya mendapat informasi rencana kegiatan Grand Final Pemilihan Mister dan
Miss Gaya Dewata 2018 yang akan diselenggarakan Yayasan Gaya Dewata pada 10
Oktober 2018 (Rezkisari, 2018).
DAFTAR PUSTAKA
Munadi, 2017. Diskurs Hukum LGBT di Indonesia. Unimal
Press:Lhokseumawe
Santosa, Meilanny Budiarti. 2016. LGBT DALAM
PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA dalam SOCIAL WORK JURNAL VOL.6
Chairunnisa, Ninis. 2017. Putusan MA Soal Caleg Eks
Napi Korupsi Dinilai Melanggar UU MK. (https://nasional.tempo.co/read/1044655/pakar-hukum-ada-kekosongan-hukum-tentang-lgbt-di-indonesia/full&view=ok)
diakses tanggal 10 Oktober 2018
Rezkisari, Indira. 2018. Kontes LBT di Bali
Dibatalkan. (https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/10/10/pgdbaw328-kontes-lgbt-di-bali-dibatalkan)
diakses tanggal 12 Oktober 2018.
BBC NEWS Indonesia. 2017. "Mayoritas rakyat
Indonesia menerima hak hidup LGBT" : Survey. (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42348089)
diakses tanggal 10 Oktober 2018
CNN Indonesia. 2018. MUI Minta DPR Tak Beri Ruang LGBT
dalam Undang-undang. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180201202242-12-273299/mui-minta-dpr-tak-beri-ruang-lgbt-dalam-undang-undang)
diakses tanggal 10 Oktober 2018.